fin.co.id - Bayangkan kamu baru saja membeli mobil impian seharga Rp 250 juta. Setelah menabung bertahun-tahun, akhirnya kamu bisa memilikinya. Namun, euforia itu segera pudar ketika kamu melihat tagihan pajak kendaraan tahunan yang harus dibayar—sekitar Rp 3,8 juta. Bahkan, jika kamu memiliki lebih dari satu mobil, pajak progresif akan membuat biaya semakin membengkak.
Sekarang, bandingkan dengan Malaysia. Untuk mobil dengan kapasitas mesin 1.500 cc, pajak tahunannya hanya sekitar Rp 300 ribu—tanpa progresif, tanpa biaya tambahan. Perbedaannya mencapai 13 kali lipat! Lantas, mengapa bisa begitu jauh berbeda?
Perbandingan Sistem Pajak Kendaraan
1. Indonesia: Pajak Berbasis Nilai Jual + Progresif
-
Dasar perhitungan: 1,5% dari Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB).
-
Pajak progresif: Kendaraan kedua dan seterusnya dikenakan tarif lebih tinggi.
-
Biaya tambahan: SWDKLLJ, administrasi STNK, dan lain-lain.
-
Total untuk mobil pertama (contoh): Rp 3.893.000 per tahun.
2. Malaysia: Pajak Berbasis Kapasitas Mesin
-
Dasar perhitungan: Kapasitas mesin (cc), bukan nilai kendaraan.
-
Tidak ada progresif: Sama untuk semua pemilik, berapapun jumlah mobilnya.
-
Tidak ada biaya tambahan.
-
Total untuk 1.500 cc: Rp 306.000 per tahun.
Mengapa Bisa Begitu Jauh Berbeda?
1. Filosofi Pajak yang Berbeda
-
Indonesia: Pajak kendaraan dianggap sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan alat pengendali jumlah kendaraan.
-
Malaysia: Pajak lebih fungsional, berdasarkan efisiensi mesin, bukan nilai jual.
2. Biaya Administrasi yang Membebani
Di Indonesia, pajak tidak berdiri sendiri. Ada berbagai komponen seperti:
-
SWDKLLJ (Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan)
-
Biaya administrasi STNK