Trend . 07/11/2025, 17:21 WIB
Penulis : Wanda Afifah | Editor : Wanda Afifah
fin.co.id - Di era digital yang serba cepat, keinginan untuk “jadi yang pertama” sering kali menyingkirkan empati. Semua orang bisa mengunggah, membagikan, dan memviralkan peristiwa dalam hitungan detik. Namun, di balik layar yang penuh notifikasi itu, ada manusia dengan perasaan dan martabat yang harus tetap dijaga.
Pengamat sosial dari Universitas Gadjah Mada (UGM), R. Derajad Sulistyo Widhyharto, mengingatkan bahwa dalam setiap konten, terutama yang menyangkut isu sensitif seperti kriminalitas atau peristiwa dengan korban jiwa, pembuat konten wajib memprioritaskan empati.
“Dalam dunia digital saat ini, kecepatan menyebarkan informasi sering kali mengalahkan kepekaan terhadap manusia di balik peristiwa itu. Padahal, konten yang baik bukan hanya informatif, tetapi juga berperasaan. Ketika kita membahas isu-isu sensitif seperti kasus kriminal atau peristiwa yang melibatkan korban jiwa, ada tanggung jawab moral yang harus dijaga, bagaimana menyampaikan fakta tanpa melukai rasa kemanusiaan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat.
Menurut Derajad, pembuat konten harus menempatkan korban sebagai manusia, bukan sekadar objek berita. Ia menegaskan, narasi yang empatik akan membangun kepercayaan dan kredibilitas jangka panjang di mata publik.
Ia menyarankan agar pembuat konten menghindari menampilkan gambar atau video yang mempermalukan korban. Hindari juga tayangan yang memperlihatkan tubuh korban atau menampilkan kesedihan keluarga secara berlebihan. Sebaliknya, fokuslah pada nilai edukasi seperti pentingnya keselamatan, keadilan, atau solidaritas sosial.
“Berfokuslah pada pesan edukatif, misalnya tentang pentingnya keselamatan, keadilan, atau solidaritas sosial, sehingga publik mendapat pelajaran tanpa harus mengorbankan martabat seseorang,” tegasnya.
Selain visual, Derajad juga menyoroti pentingnya penggunaan bahasa. Ia mengimbau pembuat konten untuk menyaring diksi dan sudut pandang agar tidak menghakimi atau memelintir fakta.
Dalam konteks kasus kriminal, misalnya, pembuat konten sebaiknya menonjolkan analisis yang berimbang bukan hanya kronologi sensasional. Bahas akar masalah, sistem hukum, hingga dampak sosial yang muncul, sehingga publik bisa memahami konteks secara lebih utuh.
Derajad menekankan pentingnya memberi ruang bagi empati sebelum membagikan informasi. Tunggu hingga data valid, beri waktu bagi keluarga korban untuk berdamai, dan hindari menjadikan tragedi sebagai bahan konten.
Menurutnya, tanggung jawab sosial seorang kreator bukan sekadar soal views atau engagement, melainkan bagaimana menjaga rasa kemanusiaan di tengah arus informasi yang deras.
“Konten yang berempati bukan berarti kehilangan daya tarik. Justru sebaliknya, ia membangun hubungan yang lebih kuat dengan publik,” ungkap Derajad.
Fenomena media sosial membawa perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi. Kini, aktivitas seperti mengunggah foto, video, atau status bukan lagi sekadar berbagi informasi, melainkan bentuk ekspresi identitas dan pencarian pengakuan sosial.
Derajad menjelaskan bahwa publik kini menggunakan media sosial untuk menampilkan pengalaman hidup, berbagi gagasan, hingga memperjuangkan isu sosial. Media sosial telah berkembang menjadi ruang partisipasi publik yang luas dan dinamis.
“Konten yang berempati bukan berarti kehilangan daya tarik, justru sebaliknya, ia membangun kepercayaan dan kredibilitas yang jauh lebih dalam di mata publik. Karena di balik setiap layar, selalu ada hati dan rasa kemanusiaan yang harus dijaga,” ujarnya.
Namun, di sisi lain, fenomena ini membuat momen kehidupan kehilangan makna mendalam karena terlalu diarahkan untuk menjadi konten. Akibatnya, media sosial bukan hanya sarana komunikasi, tetapi juga berubah menjadi mekanisme kontrol sosial baru di mana algoritma, opini publik, dan tekanan sosial ikut membentuk perilaku manusia.
PT.Portal Indonesia Media