Trend . 12/11/2025, 13:50 WIB
Penulis : Wanda Afifah | Editor : Wanda Afifah
fin.co.id - Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi., mengingatkan bahwa pola asuh di rumah memegang peran besar dalam membentuk perilaku anak dan remaja. Menurutnya, lingkungan rumah yang penuh tekanan atau perundungan bisa menjadi pemicu utama anak melampiaskan kemarahan di luar rumah, bahkan lewat tindakan kekerasan.
“Bisa berdampak pada diri mereka sehingga agresivitasnya tidak bisa disalurkan di rumah, bisa dijadikan satu senjata untuk melakukannya di sekolah,” ujar psikolog yang akrab disapa Romi, dikutip dari ANTARA.
Romi menegaskan, rumah sering kali menjadi tempat pertama anak mengalami bentuk perundungan, baik dalam bentuk tekanan, rasa tidak aman, maupun kekerasan emosional. Situasi seperti ini dapat membuat anak menyalurkan frustrasinya melalui perilaku agresif terhadap teman atau lingkungannya di sekolah.
Menurut Romi, banyak yang keliru menilai bahwa kekerasan di sekolah disebabkan oleh bullying di lingkungan pendidikan. Padahal, tindakan agresif anak sering kali berakar dari masalah di rumah.
“Karena bisa saja apa yang terjadi di sekolah, bullying yang dijadikan itu bukan trigger saja, bukanlah penyebab utamanya. Dan makanya dia kemudian menjadi bertindak kasar, agresif, melampiaskan apa yang tidak nyaman bagi dirinya,” jelasnya.
Artinya, anak yang sering melihat atau mengalami kekerasan domestik lebih mudah meniru pola perilaku itu dan membawanya ke luar rumah. Romi menyebut, perilaku seperti ini muncul melalui proses “modeling” atau peniruan.
Romi menegaskan, tindakan kekerasan tidak semata karena tontonan atau game yang mengandung unsur kekerasan. Anak belajar dari apa yang mereka lihat dan alami setiap hari, terutama dari perilaku orang tua.
“Ketika anak membawa benda tajam atau menunjukkan sikap agresif, orang tua perlu introspeksi. Jangan-jangan ada dendam atau amarah yang belum terselesaikan di dalam dirinya,” ujarnya.
Ia menambahkan, penting bagi orang tua melihat lebih dalam kehidupan emosional anak, bukan sekadar menilai perilaku luarnya. Anak yang tampak agresif mungkin menyimpan banyak perasaan terpendam seperti kecewa, marah, atau tidak diterima.
Romi juga membagikan sejumlah tanda yang bisa dikenali orang tua sebagai peringatan dini sebelum anak bertindak kasar. Beberapa di antaranya:
“Kalaupun dia punya teman, biasanya banyak meminta orang untuk mendukung dia. Dan dari perilaku dengan orang tuanya mungkin lebih tidak mau mengungkapkan dan kelihatan lebih aneh daripada biasanya,” ujar Romi.
Lebih lanjut, Romi menekankan pentingnya pendidikan moral sejak usia dini. Menurutnya, moral merupakan fondasi utama yang membantu anak membedakan mana yang benar dan salah.
“Kalau anak ini punya empati, dia tidak akan melakukan sesuatu yang melukai temannya karena dia berempati bahwa kalau diperlakukan itu kepada dia akan menjadi tidak nyaman. Jadi ini semua dikembangkan secara simultan sejak usia dini,” katanya.
Romi menyarankan agar orang tua mengembangkan nilai-nilai moral secara simultan, bukan sekadar memberi tahu apa yang benar. Beberapa nilai penting yang perlu ditanamkan antara lain:
Dengan membangun nilai-nilai ini, anak tumbuh menjadi pribadi yang tidak mudah terbawa emosi dan mampu menyalurkan amarahnya dengan cara yang sehat.
PT.Portal Indonesia Media