fin.co.id - Anda mungkin berpikir anak-anak zaman sekarang akan semakin cerdas berkat ketersediaan teknologi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI). Namun, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, melontarkan peringatan keras yang harus membuat kita semua waspada.
Bukan peningkatan kecerdasan yang terjadi, melainkan risiko mengerikan yang disebutnya sebagai 'brain rot' alias pembusukan otak.
"Yang kita takutkan, bukan anak-anak tambah cerdas dengan AI, yang terjadi adalah brain rot, otaknya tidak maksimal dipakai, semuanya tergantung sama AI," tegas Nezar Patria, dikutip dari keterangan pers kementerian pada Minggu, 09 November 2025.
Pernyataan ini jelas menyoroti bahwa anak-anak yang terbiasa menggunakan platform berbasis AI sejak dini berpotensi besar mengalami ketergantungan pada AI. Alih-alih merangsang kreativitas, penggunaan AI yang berlebihan justru bisa memicu penurunan drastis pada kemampuan berpikir alami mereka.
Pentingnya Literasi Digital Orang Tua dan Guru
Melihat risiko ini, Wamenkominfo dengan lugas menyebut satu hal yang menjadi benteng pertahanan paling vital yakni peningkatan literasi digital orang tua dan guru. Ini bukan lagi sekadar himbauan biasa, melainkan sebuah kebutuhan mendesak di era gempuran AI.
Mengapa literasi digital sangat penting? Karena hanya orang tua dan guru dengan pemahaman teknologi digital dan AI yang memadai yang mampu melakukan fungsi krusial:
- Mengarahkan penggunaan AI.
- Membimbing pemanfaatan teknologi secara bijak.
- Mendampingi anak agar AI digunakan sesuai kebutuhan, bukan menjadi tumpuan utama berpikir.
Intinya, kita harus memastikan anak-anak menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti otak. Tanpa pengawasan berbasis literasi yang kuat, ancaman penurunan kemampuan berpikir anak akan semakin nyata.
Baca Juga
Pemerintah Bergerak Cepat: Mencetak Developer, Bukan Hanya User!
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Kominfo) memahami bahwa AI adalah keniscayaan. Oleh karena itu, langkah strategis sedang digeber untuk memastikan Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga pemain kunci.
Kominfo telah menjalankan program ambisius seperti AI Talent Factory. Tujuan dari program ini sangat ambisius dan berorientasi ke depan:
"Tujuan kita menyiapkan AI talent yang global standard dan sekaligus menjadikan mereka developer, bukan cuma user saja, dan kita harus menyiapkan ekosistem juga yang dapat memanfaatkan kemampuan mereka," jelas Nezar Patria.
Ini adalah sinyal kuat bahwa Indonesia serius ingin mencetak talenta-talenta digital AI yang bisa bersaing di kancah global. Kolaborasi dengan berbagai lembaga riset, termasuk Indonesia AI Institute, menjadi kunci untuk mencapai tujuan tersebut. Wamenkominfo bahkan secara langsung mengapresiasi inisiatif Indonesia AI Institute dalam mengedukasi masyarakat mengenai bahaya penggunaan teknologi baru secara tidak tepat.
Jaminan Etika dan Tanggung Jawab dalam Adopsi AI
Selain urusan mencetak pengembang AI, pemerintah juga tidak melupakan aspek etikanya. Adopsi teknologi AI di Indonesia wajib dilakukan secara etis dan bertanggung jawab.
Kominfo sudah tancap gas dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial. Namun, langkah ini belum berhenti di sana. Pemerintah sedang menyiapkan fondasi regulasi yang lebih kokoh, yaitu:
- Peta Jalan AI Nasional: Ini akan menjadi panduan komprehensif adopsi AI di seluruh sektor.
- Peraturan Presiden tentang Etika AI: Regulasi yang akan memastikan penggunaan AI berjalan di koridor moral dan hukum.
Semua regulasi ini dirancang untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan AI benar-benar membawa manfaat, bukan malah menimbulkan dampak buruk seperti 'brain rot' yang mengancam kualitas berpikir anak. Kita semua harus berperan aktif, mulai dari orang tua di rumah, guru di sekolah, hingga regulator dan pengembang. Jika tidak, kita berisiko kehilangan potensi emas generasi penerus bangsa karena terlalu bergantung pada mesin. (ANT)