fin.co.id - Puasa adalah ibadah yang mengajarkan kesabaran, keikhlasan, dan kedisiplinan dalam menjalani kehidupan. Selama berpuasa, seseorang menahan diri dari makan, minum, serta hal-hal yang dapat membatalkan puasa dari terbit fajar hingga matahari terbenam.
Ibadah ini bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga menjadi momen untuk meningkatkan ketakwaan dan memperbanyak amalan kebaikan, termasuk berdoa.
Saat waktu berbuka tiba, umat Muslim dianjurkan untuk memulai dengan membaca doa buka puasa sebelum menyantap hidangan.
Dengan berdoa sebelum berbuka, seseorang tidak hanya mengingat nikmat yang diberikan, tetapi juga menguatkan hubungan dengan Sang Pencipta melalui ungkapan syukur dan harapan.
Berikut Doa buka puasa berdasarkan hadis sahih:
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berbuka beliau membaca do’a berikut ini,
Baca Juga
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Dzahabadh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)” (HR. Abu Daud no. 2357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Adapun do’a berbuka yang tersebar di tengah-tengah kaum muslimin yaitu,
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku berbuka)”
Riwayat di atas dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya no. 2358, dari Mu’adz bin Zuhroh. Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if. (Lihat Irwaul Gholil, 4/38)
Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dho’if yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk (yang dituduh berdusta).
Berarti dari riwayat ini juga dho’if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho’if. (Lihat Irwaul Gholil, 4/37-38)